Resensi film Tanda Tanya

~ Senin, 09 Mei 2011


Tugas ke 3 : Resensi Film
FILM TANDA TANYA
Film Indonesia – Sebagaimana media massa lainnya, film juga punya kemampuan untuk mengungkap, mengomentari dan menghadapi permasalahan sosial aktual secara langsung. Tidak lewat perumpamaan, tidak lewat dongeng atau perantara lain. Peran yang sangat jarang dilakukan dalam perfilman Indonesia ini yAang dilakukan oleh sutradara Hanung Bramantyo dan penulis skenario Titien Wattimena dalam film terbaru mereka berjudul “?” (“Tanda Tanya”).
Mereka ‘memungut’ peristiwa-peristiwa aktual dalam lima sampai sepuluh tahun terakhir (pemboman gereja, penghakiman/perusakan milik orang lain yang dianggap melanggar kaidah, keresahan/kerusuhan antaretnis dll) dan mencampurkannya dengan ‘fiksi’ permasalahan pribadi tokoh-tokohnya. Kata ‘fiksi’ mungkin tidak terlalu tepat, karena yang disuguhkan sebetulnya permasalahan umum yang dialami masyarakat. Permasalahan ini ‘diangkat’ menjadi lebih ‘umum’, hingga terasa sebagai fiksi. Pendeknya: beda fiksi dan fakta dalam film ini berhasil dibuat menjadi tipis.
Tan Kat Sun (Henky Solaiman), pemeluk Konghucu dan pemilik restoran masakan Cina yang sudah tua dan sakit-sakitan sangat sadar lingkungan. Cara masak dan peralatan masak dipisah secara tajam antara yang halal dan haram. Ia bermasalah dengan anaknya, Ping Hen alias Hendra (Rio Dewanto), yang memiliki visi tersendiri dalam bisnis.
Soleh (Reza Rahadian), Islam dan pengangguran yang rajin beribadah, selalu gundah akan keadaan dirinya, sementara istrinya, Menuk (Revalina S Temat) yang berjilbab bekerja di restoran Tan Kat Sun. Menuk yang praktis menjadi tiang keluarga, tampil sebagai istri teladan.
Rika (Endhita), janda berputra tunggal, meneruskan usaha keluarga: toko buku. Atas pilihannya sendiri, ia belajar agama Katolik dan ingin dibaptis, sementara putra tunggalnya tetap didorong memperdalam agama Islam di mesjid setempat. Ia juga bersahabat dengan Surya (Agus Kuncoro), yang bercita-cita menjadi aktor hebat tapi bernasib masih mendapat kesempatan peran-peran kecil. Saking tidak punya uang, ia menginap di mesjid.
Latar
Tokoh-tokoh ini tinggal di sebuah wilayah tua sebuah kota di Jawa Tengah (Semarang?) yang lanskapnya mengesankan sebuah wilayah pecinan, meski di sana ada juga mesjid dan tidak terlalu jauh dari situ (dalam film kurang digambarkan secara jelas letak geografisnya) berdiri gereja Katolik yang cukup megah. Bahasa yang digunakan bahasa Indonesia logat Jawa dan bahasa Jawa. Pemilihan latar ini merupakan pilihan yang tepat untuk mendramatisasi friksi. Pemilihan ini juga sekaligus menunjukkan betapa dalam kehidupan sehari-hari kita ‘harus’ berhadapan dengan etnis atau pemeluk agama lain. Bahkan keluarga-keluarga besar, di Jawa khususnya, selalu memiliki anggota keluarga yang beretnis dan/atau memeluk agama lain.
Hal ini sudah berjalan biasa dan tidak bermasalah sejak lama sekali, meski khusus dengan etnis Cina selalu ada yang terpendam di bawah sadar tanpa muncul di alam sadar secara fisik pada kelompok ‘asli’. Dia menjadi bermasalah sejak reformasi/kerusuhan 1998 karena tidak adanya penanganan yang jelas dan tegas atas masalah itu sesudahnya, sementara dibiarkan tumbuh radikalisme/fundamentalisme etnis/agama, dan juga selalu muncul kelompok yang memanfaatkan kekeruhan itu.
Terhadap masalah ini Hanung bersikap. Dia menunjukkan perbedaan etnis dan agama adalah kenyataan Indonesia kita yang sebaiknya disyukuri. Dia bahkan menunjukkan dalam banyak adegan betapa ‘bodohnya’ tindakan yang didasarkan hanya pada prasangka etnis/agama apalagi kalau hal itu dibumbui lagi oleh prasangka yang berangkat dari masalah personal seperti yang dilakukan Soleh. Selalu bertengkar dengan Hendra bila berpapasan dan saling mengejek, Soleh yang dibakar cemburu mengerahkan teman-temannya untuk merusak restoran Hendra yang buka pada hari kedua Lebaran. Hendra mengabaikan kebijakan ayahnya yang selalu memberi libur lima hari pada karyawannya saat Lebaran dengan alasan ‘bisnis’: pada hari Lebaran orang makan di luar dan pembantu pulang mudik.

Hanung juga menunjukkan perbedaan-perbedaan yang ada sebenarnya semu. Khotbah/petuah ustad maupun pastor pada intinya sama. Ketika Surya bertanya apakah dirinya boleh memerankan Yesus dalam drama Paskah di gereja, Ustad menjawab bahwa yang penting adalah yang ada dalam dirinya. Meski kita juga tahu, bahwa salah satu alasan Surya menerima peran itu adalah honorarium. Bahkan Rika yang secara sadar mengambil jalan yang tidak dilalui keluarga dan masyarakat mayoritas, berucap bahwa pada akhirnya jalan agama adalah jalan pribadi. Suatu pemikiran yang sebetulnya biasa saja, tapi kelihatan progresif dalam konteks film itu, dan juga mungkin dalam konteks masyarakat sekarang yang penuh prasangka.
Sikap ’progresif’ ini pula yang mewarnai seluruh film kecuali pada bagian akhir. Sutradara dan penulis skenarionya agaknya berpendirian bahwa setiap masalah dalam film harus ada solusinya. Padahal tidak ada keharusan itu, karena begitu banyak film memberikan akhiran terbuka. Khusus untuk film ini, solusi di akhir film justru memperlemah dua sisi sekaligus: pikiran progresif yang diakhiri dengan kebijakan konvensional cenderung konservatif, dan struktur dramatik yang sudah dibinanya sejak awal menjadi tak terasa lagi. Soleh merusak restoran tempat kerja istrinya, Rika lebih memilih Surya yang Islam daripada Doni (Glenn Fredly) yang seiman, hancurnya restoran membuat Hendra sadar akan kebijakan ayahnya. Inilah puncak-puncak dramatik itu. Sesudahnya, adalah penjelasan-penjelasan yang rasanya berlebih dan mengurangi nilai dramatik itu tadi.
Ada kemungkinan pembuat film takut disalahfahami. Ketakutan yang sebetulnya tidak perlu ada, karena akhiran terbuka berarti mengajak penonton aktif memberi tafsir sendiri yang belum tentu sama dengan pencipta. Sebuah film, seperti juga kesenian umumnya, menjadi indah karena memberi ruang itu dan sang pencipta harus tahu diri di mana dia harus berhenti untuk menjelaskan dirinya. Dengan kata lain sebuah kesenian sebaiknya indah dalam isi dan dalam cara.
Pada Hanung, asyiknya, kita tidak perlu lagi bicara soal cara atau hal-hal yang teknis. Dia sudah sangat fasih terhadap medianya. Yang diperlukan adalah pergulatan lebih lanjut dan lebih dalam terhadap masalah yang ingin diungkapkan dan cara ungkapnya. Bagaimanapun keindahan ungkapan sama pentingnya dengan apa yang hendak diungkapkan.

0 komentar:

Posting Komentar